Kuasa hukum keluarga korban (kiri) Roni Prima Panggabean. (foto/ist) |
KHABARSUMUT - Kasus dugaan malapraktik tidak berhenti. Bahkan Dokter Syaiful M Sitompul dan Dirut RS Martha Friska Multatuli telah dikonfirmasi telah memilih untuk bungkam.
Namun, telah dikonfirmasi bahwa dugaan pelanggaran di RS Multatuli yang menyebabkan kematian Eduard Hasiholan Panggabean telah diselesaikan dan keluarga korban yang kehilangan sanak saudaranya telah diberi keadilan.
Keluarga korban dugaan malapraktik sebelumnya melapokan RS Martha Friska Multatuli di Medan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Korban Eduard Hasiholan Panggabean meninggal karena dugaan malapraktik di rumah sakit swasta itu.
Kuasa hukum keluarga korban Roni Prima Panggabean mengatakan pada hari Kamis (9/1/2025), "Selain ke Kemenkum HAM, keluarga korban juga telah melaporkan dugaan malapraktik ini ke Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Badan Pengawas Rumah Sakit."
Roni berharap pihak terkait segera menyelesaikan investigasi audit seluruh jajaran RS Martha Friska Multatuli Medan.
Akhir kata, dia menyatakan, "Yang terpenting lagi, para pihak terkait segera memerintahkan Direktur RS Martha Friska Multatui, Medan bertanggung jawab penuh atas kematian korban yang tidak sesuai standar operasional prosedur."
Keluarga korban, menurut Roni, telah mempertanyakan dan meminta pihak rumah sakit bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran yang menyebabkan kematian korban.
Roni Prima Panggabean mengatakan, "Keluarga Korban telah mempertanyakan kematian korban atas dugaan malapraktik di RS Martha Friska sebanyak empat kali. Namun, hingga saat ini, tidak ada tanggapan sama sekali, apalagi pertanggung jawaban pihak rumah sakit tersebut."
Secara kronologis
Roni Prima Panggabean menjelaskan bahwa korban Eduard dirujuk ke RS Martha Friska Multatuli Medan pada tanggal 9 September 2024 berdasarkan rekomendasi dari RS Santa Lusia di Kota Siborong-borong, Tapanuli Utara (Taput).
Saat itu, sekitar pukul 02.00 WIB, korban yang dibawa keluarganya masih dapat berbicara dan makan secara normal.
Sekitar pukul 10.00 pagi, perawat menghubungi korban untuk meminta izin untuk menyuntikkan obat Infimycin Azithromycin Dihydrate serbuk infus IV 0,5 g ke tangan kirinya melalui jalur urat vena.
Saat penyuntikan dilakukan, perawat melakukan pengehentian sementara aliran botol infus melalui saluran vena. Setelah penyuntikan selesai, perawat pamit.
Keluarga korban menyaksikan reaksi obat korban dalam beberapa menit setelah pemberian suntikan.
Korban segera menjerit, meronta, dan merintih karena sakit, menggigit lidah, dan akhirnya meninggal.
Pihak keluarga langsung memanggil dokter setelah korban terluka.
Dokter menyatakan bahwa korban meninggal dunia pada pukul 10.45 WIB.
Roni mengeluh, "Klien kami tidak terima hingga kami melaporkan dugaan malapraktik ini bahwa sejak korban tiba di RS Marha Friska, dokter berinisial DI tidak melakukan observasi langsung terhadap pasien hanya mendelegasikan pasien kepada perawat."
Sebagai referensi dari rumah sakit sebelumnya, dokter spesialis tidak menangani penyuntikan Infimycin Azithromycin Dihydrate ke urat vena secara langsung.
Hanya perawat dan tidak ada konfirmasi keluarga untuk tindakan. Ini jelas bahwa Infimycin Azithromycin Dihydrate tidak digunakan sesuai dengan standar operasional prosedur. Dengan tegas, dia menyatakan bahwa duagaan yang kuat adalah penyebab kematian korban.
Dokter Sabar Panggabean, seorang spesialis bedah syaraf dari Fakultas Kedokteran Univeritas Suamtera Utara (FK-USU), mengatakan kepada keluarga korban bahwa dia tidak melihat itikad baik dari rumah sakit Martha Friska Multatuli terkait dugaan malapraktik ini.
Karena itu, kami meminta agar Menteri Kesehatan, IDI, dan Badan Pengawas Rumah Sakit segera melakukan audit investigasi terhadap seluruh jajaran RS Martha Friska Multatuli Medan. Setelah itu, kami meminta pihak rumah sakit bertanggung jawab di hadapan hukum.
Roni menyatakan bahwa setiap orang yang datang ke Medan Martha Friska Multatuli hanya akan menjadi tempat menghantar nyawa jika penanganan rumah sakit dilakukan dengan cara ini.
Dia menyimpulkan, "Kita sebagai manusia hanya ingin potong ayam belum tentu bisa mati dalam beberapa menit. Ini baru disuntik dalam beberapa menit dan tiba-tiba mati."
Oleh karena itu, upaya konfirmasi terus dilakukan untuk membuat masalah ini jelas dan memastikan bahwa keluarga korban mendapat keadilan dan kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
Social Footer